Harga batu bara kembali menyusut. Pelemahan harga diakibatkan oleh Eropa yang lebih berkomitmen pada sumber energi gas persediaannya yang berada pada level tertinggi sepanjang sejarah.
Merujuk pada Refinitiv, harga batu bara ICE Newcastle kontrak Desember ditutup di posisi US$ 126 per ton atau terkoreksi 0,39% pada perdagangan Selasa (12/11/2023). Pelemahan ini memperpanjang tren negatif pasir hitam yang juga ambruk 2,3% pada Senin.
Pelemahan ini menjadi kabar buruk awal pekan ini akibat kegagalan harga batu bara menembus level psikologis US$130 per ton. Sentimen ini menjadikan adanya kemungkinan harga akan terus terpuruk akibat pelaku industri yang menahan pembelian saat harga batu bara meningkat, seiring dengan pasokan yang sudah memadai
Koreksi harga batu bara terjadi seiring dengan harga gas yang naik pada Selasa karena kekhawatiran mengenai ekspor gas alam cair (LNG) dari Freeport yang kemungkinan disebabkan oleh pemadaman listrik, kata Daniel Hynes, ahli strategi komoditas senior di bank ANZ dalam sebuah catatan.
Angka terbaru menunjukkan pemulihan aliran Freeport, namun pembatasan apa pun bisa menjadi “pemicu bullish yang besar”, kata Weber dari LSEG. Namun, penyimpanan yang hampir terisi penuh di seluruh Eropa membatasi kenaikan secara signifikan, kata analis Energi Danmark.
Lokasi penyimpanan gas di Eropa tetap berada pada level tertinggi dalam sejarah, yaitu 99,49% penuh, menurut data terbaru Infrastruktur Gas Eropa.
Peningkatan harga gas mengindikasikan adanya peningkatan permintaan, sehingga batu bara sebagai substitusinya mengalami penurunan jumlah pengiriman.
Di sisi lain, tingginya pasokan Eropa juga telah mengamankan kebutuhan energi Eropa untuk mencegah kenaikan harga energi sebagai langkah antisipasi menghadapi musim dingin.
Biasanya, akhir tahun pada musim dingin memerlukan batu bara lebih untuk pembangkit listrik dan penghangat ruangan. Namun, Eropa tampaknya telah mempersiapkan pasokannya sejak beberapa bulan sebelumnya, terlihat dari stok yang sudah penuh.
Melemahnya harga batu bara juga disebabkan oleh langkah China yang lebih memprioritaskan gas alam daripada batu bara, seiring dengan upaya Tiongkok untuk meningkatkan andil energi hijau.
China, sebagai konsumen energi terbesar di dunia, sedang bertransformasi menjadi pedagang komoditas energi untuk meraih keuntungan. Menurut laporan Reuters, China semakin aktif dalam penjualan gas alam cair (LNG) ke negara-negara Asia lainnya, dengan tujuan mendapatkan manfaat dari fluktuasi harga.
Data dari bea cukai Tiongkok menunjukkan peningkatan pasokan impor LNG sebanyak 617.000 ton selama sembilan bulan pertama tahun ini, dibandingkan dengan 576.000 ton pada tahun 2022, 26.000 ton pada 2021, dan 59.000 ton pada 2020.
Kenaikan penjualan LNG oleh China terjadi seiring dengan meningkatnya permintaan di Asia, terutama setelah gangguan ekspor gas Rusia ke Eropa akibat perang di Ukraina yang memicu ketidakstabilan harga dan menyempitnya pasokan secara global.
Peningkatan pasokan LNG China sebagai alternatif untuk batu bara juga berdampak pada permintaan batu bara yang melambat. Tingginya pasokan, yang tidak sebanding dengan permintaan, menyebabkan harga batu bara turun. Tiongkok juga terus meningkatkan kapasitas listrik dari sumber energi bersih, yang diperkirakan akan mengurangi ketergantungan pada batu bara di masa depan.
Data terbaru menunjukkan bahwa investasi dalam kontrak pengadaan listrik dari tenaga surya dan angin di China akan menyumbang sekitar 45% dari total pengembangan energi ke depan. Angka ini mengalami peningkatan tajam dibandingkan dengan tahun 2022 (26%) dan 2021 (15%). Di sisi lain, tidak ada catatan mengenai investasi dalam listrik dari batu bara ke depan.
Di India, Kementerian Batubara melaporkan bahwa stok batu bara mulai bertumpuk di pembangkit listrik, dengan total stok di seluruh India mencapai 73,56 juta ton, termasuk di lokasi tambang, dalam perjalanan, dan di penampungan tambang. Pasokan batu bara yang melimpah di India juga ikut menyebabkan penurunan impor batu bara.
Sentimen dari dua konsumen batu bara terbesar di dunia ini cukup berpengaruh pada dinamika harga, mengingat kedua raksasa ekonomi Asia ini bersama-sama mengonsumsi sekitar 67% dari total produksi batu bara dunia.
Sumber: CNBC