Inflasi Amerika Serikat (AS) tercatat melandai bahkan di bawah ekspektasi pasar yang menyebabkan rupiah menguat tajam terhadap dolar AS. Melandainya inflasi langsung berdampak positif ke nilai tukar rupiah.
Inflasi AS (Consumer Price Index/CPI) melandai ke 3,2% (year on year/yoy) pada Oktober 2023, lebih rendah dibandingkan 3,7% (yoy) pada September serta di bawah ekspektasi pasar (3,3%). Ini adalah kali pertama inflasi AS melandai dalam empat bulan terakhir.
Inflasi melemah ditopang oleh turunnya harga energi, terutama besin. Inflasi pada bahan pangan juga juga melandai menjadi 3,2% pada Oktober dari 3,7% pada September.
Dilansir dari CNBC International, kendati inflasi melandai, namun tekanan harga masih belum terlihat dan mungkin memerlukan waktu untuk kembali ke kondisi sebelum pandemi Covid-19, kata para ekonom.
“Tren disinflasi sedang terjadi,” kata Sarah House, ekonom senior di Wells Fargo Economics. “Tetapi kita sedang memasuki bagian yang lebih sulit dari siklus ini.”
Angka pada Oktober ini merupakan penurunan signifikan dari catatan inflasi tertinggi selama lebih dari 40 tahun terakhir sebesar 9,1% pada Juni 2022. Oleh karena itu, harga-harga naik jauh lebih lambat dibandingkan sebelumnya.
Melandai inflasi AS ini menjadi angin segar bagi pasar keuangan global karena posisi saat ini sudah semakin mendekati target The Fed yakni 2%.
“Rasanya saat ini inflasi tahun depan sudah sangat dekat dengan target The Fed, dan hal ini akan membuat konsumen Amerika merasa nyaman,” kata Mark Zandi, kepala ekonom di Moody’s Analytics.
Mengapa Melandainya Inflasi Melambungkan Rupiah?
Dilansir dari Refinitiv, pada perdagangan Rabu (15/11/2023), rupiah sempat menguat 1,46% ke posisi Rp15.460/US$.Penguatan ini melanjutkan tren positif mata uang Garuda yang juga menguat 0,03% pada perdagangan kemarin, Selasa (14/11/2023).
https://datawrapper.dwcdn.net/a8y93/2/
Berikut alasan mengapa melandainya inflasi AS memberikan penguatan pada nilai tukar mata uang Garuda:
1. The Fed Berpotensi Dovish
Melandainya inflasi AS memungkinkan The Fed untuk berbalik arah ke dovish. Dalam pertemuan terakhir The Fed pada Oktober lalu, The Fed menegaskan jika mereka belum yakin dengan data inflasi AS.
Pada Oktober 2023, inflasi AS masih berada di angka 3,7% (yoy) atau jauh di bawah target The Fed di kisaran 2%. The Fed pada akhirnya memilih untuk mempertahankan suku bunga di level 5,25-5,50%.
Dengan inflasi yang kini mendekati kisaran 2% maka pelaku pasar semakin optimis jika The Fed tidak akan mengerek suku bunga lagi.
“Anda sekarang bisa mengatakan selamat tinggal ke era kenaikan suku bunga,” tutur Brian Jacobsen, analis dari Annex Wealth Management, dikutip dari Reuters.
Perangkat CME FedWatch tool menunjukkan 94,5% pelaku pasar melihat The Fed masih akan menahan suku bunga pada Desember mendatang dan hanya 5,5% pelaku pasar yang meyakini The Fed akan menaikkan 25 basis poin (bps) pada pertemuan Desember mendatang.
Foto: Meeting Probabilities Source: CME Fedwatch Tool |
Sedangkan pada tahun depan, pemangkasan suku bunga yang awalnya diproyeksikan akan terjadi pada Juni 2024, namun pelaku pasar berekspektasi maju menjadi bulan Mei 2024 dengan besaran 47%.
2. Indeks Dolar AS Turun
Pada penutupan perdagangan Selasa (14/11/2023), indeks dolar AS (DXY) ambles 1,49% ke angka 104,05 dari 105,63 pada Senin (13/11/2023). Pelemahan dolar ini menandai jika pelaku pasar tengah menjual dolar AS secara masif dan mengalihkannya ke instrument lain.
Rupiah bisa kembali dilirik investor asing sehingga bisa kembali menguat.
Optimisme pasar bahwa The Fed tidak akan menaikkan suku bunganya lagi membuat DXY anjlok dan berdampak pada penguatan terhadap mata uang Garuda.
Bahkan tidak hanya rupiah, mata uang lainnya pun mengalami penguatan khususnya mata uang Asia.
Pada Rabu (15/11/2023), dolar Singapura menguat 0,12%, ringgit Malaysia terbang 1,21%, peso Filipina terapresiasi 0,49%, dan yuan China menguat 0,07%.
3. Imbal Hasil US Treasury Turun Tajam
Imbal hasil US Treasury tenor 10 tahun langsung terjun ke 4,44% pada perdagangan Selasa kemarin dan pada hari ini kembali turun ke posisi 4,42%. Posisi tersebut merupakan yang terendah sejak 22 September 2023.
Melandainya imbal hasil diyakini akan berimbas pula pada turunnya imbal hasil surat utang negara lain, termasuk Surat Berharga Negara (SBN). Pasalnya, US Treasury menjadi kurang menarik dan investor asing akan mencari instrumen serupa yang menjanjikan return lebih menarik.
SBN bisa kembali dicari sehingga harganya akan naik dan imbal hasil akan turun. Imbal hasil SBN tenor 10 tahun pada perdagangan kemarin naik ke 6,95%, dari 6,9% pada hari sebelumnya. Sementara pada hari ini sedikit turun ke angka 6,84%.
Jika dikalkulasikan, selisih antara US Treasury dan SBN tenor 10 tahun saat ini sebesar 242 bps. Hal ini menjadi daya tarik tersendiri khususnya bagi investor asing untuk masuk ke pasar domestik dan capital inflow berpotensi terjadi di dalam negeri.
Sumber: CNBC