Wakil Presiden Dewan Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-bangsa (HAM PBB) Muhammadou M.O Kah menekankan pentingnya komitmen kerukunan beragama di dalam masyarakat. Tantangan meneguhkan koeksistensi sering kali sulit karena adanya ideologi yang mengancam kemajemukan.
“Krisis dan kesulitan di berbagai dunia, geopolitik terus bergeser dan melemahnya nurani dan kemanusiaan kita menuntut kita semua berdiri untuk hak asasi manusia dan martabat manusia,” kata Muhammadou dalam Konferensi Literasi Keagamaan Lintas Budaya yang diadakan oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI bersama Institut Leimena, Selasa (14/11/2023).
Muhammadou mengusulkan beberapa hal untuk meneguhkan komitmen kerukunan agama yaitu penguatan kerangka pendidikan, forum dialog, reformasi hukum, pelibatan masyarakat, teknologi digital, kecerdasan buatan untuk toleransi dan kebaikan, menjaga kelompok rentan, dan respon cepat kepada kejahatan-kejahatan berdasarkan kebencian.
“Negara hukum membutuhkan dukungan yang memadai, kesiapsiagaan dan kapasitas, kecakapan termasuk literasi keagamaan lintas budaya, partisipasi pemuda dan perempuan,” ujarnya.
Muhammadou menjelaskan agama seharusnya menjadi inspirasi dan kekuatan untuk mempersatukan sesama dalam kemanusiaan. Peran pemerintah yang berintegritas dan lembaga pendidikan yang bertanggung jawab perlu didukung oleh lembaga-lembaga keagamaan, serta organisasi masyarkat sipil agar bisa memberikan pencerahan nilai-nilai HAM yang positif.
“Agama memiliki kekuatan untuk mengubah narasi kita akan dunia. Secara umum, diplomasi keagamaan itu vital, berdiri bagi HAM untuk semua,” katanya.
Muhammadou melanjutkan agama berperan membentuk pola pikir yang baik untuk melayani keramahan, pengharapan, dan cinta kasih, serta upaya memperdalam martabat manusia. Menurutnya, berdiri bagi HAM harus menjadi tekad bersama masyarakat beragama untuk mendorong pemenuhan berbagai hak sosial ekonomi, hak hidup dalam damai, menghapus perdagangan manusia, dan membangun suatu dunia yang adil.
Sementara itu, Deputi Sekretaris Jenderal ASEAN bidang Politik dan Keamanan Matheus Michael Tene, mengatakan komunitas negara-negara anggota ASEAN perlu memperkuat program dialog lintas agama dan budaya untuk merealisasikan Visi ASEAN Pasca 2025 menuju ASEAN 2045.
“Masa depan ASEAN dalam 20 tahun ke depan dan seterusnya bergantung kepada komunitas ASEAN untuk berevolusi dan mengembangkan ketangguhan dalam menghadapi ketidakpastian dan gangguan. Kawasan ini memiliki sejarah dan tradisi moderasi yang panjang, bahkan selama berabad-abad, orang-orang dari berbagai agama dan ras telah hidup bersama dalam damai dan harmonis,” kata Tene.
ASEAN Akui Pluralisme
Tene menjelaskan kawasan ASEAN mengakui pluralisme dan telah menetapkan kesetaraan ras dan kebebasan berkeyakinan sebagai hak-hak hukum konstitusional. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, tatanan sosial masyarakat majemuk telah terpukul di banyak tempat. Intoleransi dan diskriminasi berdasarkan agama atau kepercayaan telah dimanifestasikan dalam berbagai cara dan semakin sering terjadi.
Menurutnya tidak kalah penting adalah mendorong dialog dan pemahaman antarbudaya, melindungi minoritas agama dan memerangi ujaran kebencian sembari menjunjung tinggi kebebasan berpendapat dan berekspresi.
“ASEAN perlu terus memperkuat program-program dialog antar agama dan antar budaya serta rancangan inisiatif untuk mempromosikan penghormatan dan dialog antar budaya,” kata Tene.
Direktur Eksekutif Institut Leimena Matius Ho mengatakan pendekatan literasi keagamaan lintas budaya (LKLB) sejalan dengan strategi Komunitas ASEAN untuk mendukung Visi Pasca 2025. Menurutnya, program LKLB yang diadakan di Indonesia telah menarik minat negara-negara lain seperti Afrika Selatan, Uzbekistan, Kazakhstan, Belanda, Amerika Serikat, dan Vietnam.
“Memang selama dua tahun program ini berjalan, kami mendapat undangan ke berbagai negara di luar untuk memperkenalkan LKLB. Mereka ingin mengetahui bagaimana program ini dijalankan di Indonesia,” kata Matius.
Sumber: Okezone