Jakarta, CNBC Indonesia – Seluruh mata uang Asia mengalami depresiasi terhadap dolar AS secara year to date (ytd). Pelemahan mata uang Asia terjadi di tengah penguatan indeks dolar AS (DXY) tahun ini.
Sebanyak delapan mata uang Asia terpantau melemah secara serentak dengan yen Jepang yang terparah yakni sebesar 12,75% ytd basis yen. Sementara posisi kedua ditempati oleh ringgit Malaysia yang terdepresiasi 7,66% ytd basis ringgit, sedangkan won Korea Selatan berada di peringkat ketiga dengan pelemahan 5,93% ytd basis won.
Begitu pula dengan rupiah yang juga loyo terhadap dolar AS dengan depresiasi sebesar 1,89% ytd basis rupiah. Pelemahan rupiah ini terjadi pada saat suku bunga acuan Bank Indonesia (BI) konsisten di angka 5,75% hingga akhirnya pada Kamis (19/10/2023) BI menaikkan suku bunga acuannya menjadi 6%.
Ringgit Malaysia telah jatuh ke level terendah sejak krisis keuangan Asia tahun 1997-1998, karena mata uang tersebut terbebani oleh kenaikan dolar AS dan perbedaan suku bunga yang semakin lebar dengan Amerika Serikat. Mata uang ini merupakan mata uang dengan kinerja terburuk di Asia pada tahun 2023.
Keputusan Bank Negara Malaysia untuk menghentikan kenaikan suku bunga sejak bulan Juli juga menambah hambatan bagi mata uang tersebut karena bank sentral global terdengar hawkish. Hal ini telah menempatkan suku bunga kebijakan lokal semalam pada rekor diskon dibandingkan batas atas suku bunga dana bank sentral AS (The Fed).
Malaysia juga mencatat penurunan ekspor selama enam bulan berturut-turut hingga bulan Agustus, sebagian disebabkan oleh perlambatan di China, mitra dagang terbesarnya. Hal ini juga memperparah tekanan terhadap nilai tukar ringgit.
Sementara yen Jepang terdepresiasi paling parah di Asia terhadap dolar AS terjadi akibat suku bunga The Fed yang mengisyaratkan masih ada potensi khususnya di bulan Desember untuk menaikkan suku bunganya sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 5,50-5,75% dan kemungkinan menahan suku bunga dalam waktu yang lama.
Prospek suku bunga hawkish dari The Fed membuat imbal hasil Treasury AS lebih tinggi dan meningkatkan permintaan terhadap greenback.
Keterpurukan yen Jepang semakin parah akibat Bank of Japan (BoJ) memutuskan menahan suku bunganya di level ultra-rendah dan janjinya untuk terus mendukung perekonomian sampai inflasi secara berkelanjutan mencapai target 2%, menunjukkan bank tersebut tidak terburu-buru untuk menghentikan program stimulus besar-besaran.
Sedangkan rupiah secara ytd hanya melemah 1,89% yang berarti pelemahan rupiah relatif tidak parah dibandingkan mata uang negara Asia lainnya. Hal ini khususnya terjadi akibat capital outflow yang cukup deras terjadi beberapa minggu terakhir.
Aliran dana asing yang keluar tersebut terjadi karena imbal hasil US Treasury tenor 10 tahun dengan SBN tenor 10 tahun tercatat masih memiliki selisih yang cukup tipis yakni sekitar 224 bps. Apalagi dengan rating US Treasury yang jauh di atas Indonesia, maka investor akan cenderung berinvestasi ke negara maju seperti AS dengan risiko yang lebih kecil.
Lebih lanjut, indeks dolar AS (DXY) yang terus mengalami apresiasi bahkan secara ytd telah menguat 1,96% memberikan tekanan terhadap mata uang Garuda.
Dalam mengantisipasi pelemahan rupiah yang terus terjadi serta capital outflow dan spread yang semakin tipis, Bank Indonesia (BI) pada Kamis (19/10/2023) memutuskan untuk menaikkan suku bunga acuannya sebesar 25 bps untuk kedua kalinya di tahun 2023 menjadi 6%.
Bukan hanya menaikkan suku bunga acuan, BI juga akan merilis instrumen investasi baru di pertengahan November 2023 yakni Sekuritas Valas Bank Indonesia (SVBI) dan Sukuk Valas Bank Indonesia (SUVBI). Hal ini ditujukan agar dapat menarik modal asing ke Indonesia yang pro market selain Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) dan tekanan terhadap nilai tukar rupiah dapat teratasi dan lebih stabil ke depannya.
Sumber: CNCB