REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Belum lama ini, Amerika Serikat telah menyita kratom senilai 3 juta dolar AS atau sekitar Rp 44 miliar. Penyitaan tersebut dilakukan karena kratom tergolong sebagai “drug of concern” menurut Food and Drug Administration (FDA).
Kratom merupakan tanaman yang memiliki sejarah panjang di wilayah Asia Tenggara dan tumbuh secara alami di Thailand, Malaysia, Indonesia, serta Papua Nugini. Dahulu, tanaman yang tumbuh subur di hutan Kalimantan ini kerap digunakan sebagai obat herbal untuk mengatasi beberapa keluhan, salah satunya adalah meredakan nyeri.
Di Amerika Serikat, penggunaan kratom tampak meningkat secara signifikan meski tak ada izin dari FDA. Orang-orang menggunakan tanaman herbal ini untuk berbagai tujuan, seperti meningkatkan energi, mengatasi nyeri dan kecemasan, hingga mengurangi gejala sakau dari opioid.
Terlepas dari minat warga yang tinggi, FDA menegaskan bahwa penggunaan obat herbal kratom tidak aman. Alasannya, ada sejumlah potensi bahaya yang bisa mengintai para pengguna.
Berdasarkan sebuah pernyataan yang dikeluarkan oleh FDA pada April 2022, kratom (Mitragyna speciosa) dapat mempengaruhi reseptor opioid otak sama seperti morfin. Selain itu, konsumsi kratom juga dapat membuat penggunanya menjadi lebih berisiko terhadap adiksi, penyalahgunaan, serta ketergantungan.
Sejak pernyataan tersebut dibuat, hingga saat ini FDA tak menemukan adanya data yang dapat mendukung penggunaan kratom sebagai obat. Penggunaan kratom sebagai obat bahkan bisa menyebabkan kasus keracunan dan bahkan mengancam jiwa.
“Ini adalah masalah kesehatan masyarakat yang semakin besar,” ujar profesor di bidang anestesiologi dan farmakologi di Louisiana State University, Dr Alan Kaye, seperti dilansir NBC News, Jumat (5/5/2023).
Dalam beberapa tahun ke belakang, misalnya, studi menemukan adanya hubungan antara penggunaan kratom dengan kerusakan hati dan kematian. Namun studi juga menemukan bahwa kratom dapat menjadi opsi yang lebih aman dalam manajemen nyeri dibandingkan opioid.
Studi pada 2020 menunjukkan bahwa pengguna kratom cenderung lebih rentan terhadap tindak penyalahgunaan dibandingkan pengguna ganja, alkohol, atau rokok. Sedangkan studi pada 2022 menunjukkan bahwa hampir sepertiga pengguna kratom di AS menunjukkan tanda gangguan penggunaan kratom. Tanda tersebut berupa peningkatan dosis penggunaan, peningkatan toleransi, withdrawal, dan kesulitan untuk berhenti menggunakan kratom.
National Institute on Drug Abuse menjelaskan bahwa efek samping berat dari penggunaan kratom jarang terjadi, namun bisa serius. Efek samping ini mencakup masalah kejiwaan, kardiovaskular, pencernaan, dan pernapasan. Beberapa kasus kematian juga tampak berkaitan dengan penggunaan kratom.
Kratom tak boleh dijadikan obat herbal. – (Republika)
Di Indonesia, tanaman kratom dikenal pula dengan nama daun kedemba. Seperti dilansir dari laman Badan Narkotika Nasional (BNN) Provinsi Sumatra Selatan, BNN RI telah menetapkan kratom sebagai NPS atau plant-based substance di Indonesia.
BNN RI juga merekomendasikan kratom untuk dimasukkan ke dalam narkotika golongan I dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Penggolongan ini didasarkan pada efek kratom yang berpotensi menimbulkan ketergantungan dan sangat berbahaya bagi kesehatan.
“BNN mengemukakan bahwa efek kratom 13 kali lebih berbahaya dari morfin,” jelas BNN Provinsi Sumatra Selatan melalui laman resminya.
Sumber: Republika