Kota Samarinda adalah ibu kota Provinsi Kalimantan Timur. Samarinda merupakan salah satu kota penting di Pulau Kalimantan, dan terbilang sebagai kota terbesar di Kaltim.
Letak Samarinda berjarak sekitar Kutai Kartanegara, kabupaten yang kaya akan sumber daya alam tambang maupun hutan. Samarinda juga tercatat berjarak 115 km dengan Balikpapan, kota paling besar kedua di Kalimantan Timur.
Wilayah Kota Samarinda seluas 718 km2. Secara administratif, wilayah Samarinda terbagi menjadi 10 kecamatan. Terdapat 53 desa di Samarinda.
Adapun 10 kecamatan di Samarinda adalah Palaran, Samarinda Ilir, Samarinda kota, Sambutan, Samarinda Sebarang, Loa Janan Ilir, Sungai Kunjang, Samarinda Ulu, Samarinda Utara dan Sungai Pinang.
Kota Samarinda memiliki jumlah penduduk sekitar 928.644 jiwa. Dari jumlah penduduk tersebut sekitar 488.583 jiwa laki-laki dan 440.061 perempuan. Pertumbuhan penduduk di Kota Samarinda bisa mencapai 11% per tahunnya.
Suku-suku yang berada di Kota Samarinda saat ini terdiri dari 40% suku Jawa, 23% suku Bugis, 19% suku Banjar, 2% suku Dayak, 10% suku Kutai, dan 6% suku lain.
Salah satu ikon paling populer di Samarinda adalah Jembatan Mahakam. Bernama resmi Jembatan Mahkota 1, jembatan sepanjang 400 meter yang melintas di atas Sungai Mahakam ini diresmikan pada 1987.
Sejarah Kota Samarinda
Kawasan Kota Samarinda dahulu termasuk dalam wilayah Kerajaan Kutai Kartanegara yang berdiri tahun 1300 SM, demikian menukil laman Pemkot Samarinda. Sebelum bernama Samarinda, pada abad 13, terdapat permukiman penduduk enam kampung di sana.
Keenam kampung itu adalah Pulau Atas, Karang Asam, Karamumus (Karang Mumus), Luah Bakung (Loa Bakung), Sembuyutan (Sambutan), dan Mangkupelas (Mangkupalas).
Nama kampung-kampung tadi ditemukan dalam manuskrip salasilah Raja Kutai Kartanegara yang ditulis oleh Khatib Muhammad Tahir pada 1849 M, dan dikutip sejarawan asal Belanda, C. A. Mees.
Catatan lainnya yang termuat dalam buku Sejarah Kota Samarinda (1986) karya Moh Nur Ars dkk. terbitan Depdikbud RI, mengungkapkan bahwa Kota Samarinda semula tumbuh dari tiga kampung permukiman suku Kutai Puak Melanti.
Ketiganya adalah Kampung Mangkupalas, Karamumus, dan Karang Asam. Tiga kampung tersebut bergabung dengan Desa Ulu Dusun di Kutai Lama yang dipimpin Ngabehi Ulu. Semenjak abad 14, ketiga kampung tadi berada di bawah pengaruh Kerajaan Gowa.
Namun, pengaruh Gowa berangsur surut seusai perjanjian Bongaya (1667) menandai kemunduran kerajaan itu. Meski begitu, sejak pertengahan abad 15 hingga 18, terjadi migrasi warga Bugis ke wilayah Kerajaan Kutai Kartanegara.
Suatu kali, di awal abad 18, datang sekelompok pendatang Bugis dari Wajo yang dipimpin oleh La Mohang Daeng Mangkona. Dia lantas meminta izin untuk menempati wilayah sekitar Kutai kepada Adji Pangeran Dipati Anom Pandji Mendapa Ing Martadipura, Raja Kerajaan Kutai Kartanegara ing Martadipura ke-13.
Sang raja kemudian mengizinkan mereka tinggal di sekitar Sungai Mahakam yang lokasinya tepat berada di antara 2 dataran rendah. Para pendatang dari Wajo lalu menamakan tempat itu dengan sebutan “Samarinda” yang merupakan gabungan 2 kata: “sama” dan “rendah.”
Posisi Samarinda sebagai kota menjadi penting ketika pemerintah kolonial Belanda menjadikannya pusat pemerintahan Kalimantan Timur sejak abad 19. Masa itu, Kerajaan Kutai Kartanegara sudah ditundukkan oleh Belanda.
Mengutip buku Salasilah Kutai (1981) karya D. Adham, kekuasaan Belanda di Kalimantan Timur dikukuhkan oleh perjanjian pada 11 Oktober 1844 yang melibatkan Raja ke-16 dari Kerajaan Kutai Kartanegara, Sultan Aji Muhammad Salehuddin I. Tak lama setelah perjanjian itu diteken, otoritas kolonial menempatkan Asisten Residen H. von De Wall di Samarinda.
Di masa kemerdekaan Republik Indonesia, posisi Kota Samarinda kembali menjadi penting setelah Provinsi Kalimantan Timur resmi dibentuk pada 1957.
Samarinda terpilih jadi ibu kota daerah Tingkat 1 hasil pemekaran Provinsi Kalimantan tersebut. Di tahun 1960, Samarinda resmi berstatus kotapraja, yang berubah menjadi kotamadya pada 1969.
Kondisi Geografis dan Iklim Kota Samarinda
Secara astronomis, wilayah Samarinda terletak pada koordinat 00º 19’ 02” LU dan ”00º42’34”LU & 117º03’00” BT – 117º18’14”BT. Artinya, Samarinda termasuk dalam wilayah Khatulistiwa.
Karakter khas geografis Samarinda adalah wilayahnya yang terbelah oleh aliran Sungai Mahakam. Sungai terbesar dan terpanjang di Kaltim tersebut merupakan urat nadi kehidupan masyarakat Samarinda sekaligus pintu masuk ke wilayah pedalaman Kalimantan Timur.
Wilayah Samarinda memang tidak bersinggungan secara langsung dengan laut. Namun, sungai Mahakam yang melintasi Samarinda terhubung dengan laut melalui wilayah Kutai Kartanegara, Bontang, Kutai timur, dan Balikpapan.
Dilihat dari topografinya, 41,12% wilayah Kota Samarinda terdiri dari daerah perbukitan. Sekitar 14,66% daratan Saamarinda berada di ketinggian 0 – 200 mdpl, 24,17% di ketinggian 0-7 mdpl, 41,10% di ketinggian 7-25 mdpl, dan 32,48% menempati ketinggian 25-100 mdpl.
Iklim Samarinda sama dengan wilayah Indonesia umumnya (ada musim kemarau & hujan). Hanya saja, karena letaknya di daerah khatulistiwa, suhu udara Samarinda cenderung tinggi.
Berdasarkan pengamatan yang dilakukan di Stasiun Meteorologi Kota Samarinda pada tahun 2012, Samarinda mengalami iklim panas dengan suhu rata-rata 28 derajat celcius. Suhu udara terendah 23,9 derajat celcius terjadi di bulan Januari dan tertinggi 32,9 derajat celcius pada September.
Kota Samarinda punya kelembapan udara dan curah hujan relatif tinggi. Pada 2012, kelembapan udara Samarinda antara 77% sampai 86%. Adapun rata-rata curah hujannya mencapai 201,7 mm, dengan curah hujan tertinggi 327,1 mm di Januari, dan terendah 110,4 mm pada September.
Tempat Wisata di Kota Samarinda Kota Samarinda punya sejumlah obyek wisata yang menarik untuk dikunjungi. Berikut ini beberapa destinasi wisata di Samarinda:
1. Susur Sungai Mahakam
Sejak 2018 lalu, sejumlah kapal tersedia untuk melayani wisata susur sungai Mahakam di Kota Samarinda dan daerah-daerah di sekitarnya. Laman resmi Dinas Pariwisata Kaltim memberikan informasi bahwa rute kapal wisata dari dermaga Pasar Pagi menuju ke Tenggarong, Kutai Lama dan Seputar Samarinda.
Untuk rute Desa Kutai Lama, perjalanan kapal membutuhkan waktu sekitar 3 jam ditambah 2 jam rekreasi. Sementara rute seputar Samarinda hanya perlu waktu 3 jam saja dari jam 5 sore hingga jam 7 malam setiap Sabtu dan Minggu.
2. Desa Adat Pampang
Untuk menuju Desa Adat Pampang, bisa dengan perjalanan darat melalui poros jalan samarinda – Bontang kurang lebih 17 Km dari terminal Lempake. Desa yang berlokasi di Kelurahan Sungai Siring, Samarinda Utara, ini ditempati warga Suku Dayak Apo Kayan dan Dayak Kenyah.
Di desa ini, terdapat pertunjukan sejumlah tarian adat Suku Dayak, seperti Tari Bangen Tawai, Huqoq, hingga Kancet Punan Lettu.
3. Kampung Ketupat Kampung
Ketupat dapat diakses melalui perjalanan darat menggunakan mobil dengan jarak sekitar 1 jam 10 menit (31,7 km) dari bandara APT Pranoto Samarinda. Di sana ada Tugu Ketupat, pentas tarian daerah, taman dengan spot foto, dan pengrajin ketupat.
4. Telaga Permai Batu Besaung
Telaga Permai Batu Besaung di Kecamatan Samarinda Utara. Destinasi wisata ini berada sekitar 15 km dari pusat Kota Samarinda.
Sumber: tirto